,

Idul Fitri : Kemenangan Milik Siapa?


Hasrat menanti lebaran tak lagi terbendung, sebagian sumringah menanti keputusan sidang isbat atas penetapan 1 syawal 1440 H, yang pada akhirnya keputusan tersebut yang disampaikan langsung oleh bapak Menteri Agama, Lukman hakim Syaifuddin bahwa idul fitri jatuh pada hari Rabu/05/06/2019 M. So, lebaran sudah di depan mata, sehingga masyarakat muslim melakukan persiapan penyambutan mulai dari pakaian baru, bersih-bersih rumah dan menyiapkan kebutuhan lain untuk menyambut tamu, dan sebagian yang lain sibuk meramaikan masjid beri’tikaf di dalamnya.
Sebelum merayakan hari kemenangan yang Allah janjikan bagi hambaNya yang terpilih, yaitu bagi mereka satu bulan menunaikan ibadah puasa  dengan niat kepada Allah SWT, menahan diri dari makan dan minum serta dari seluruh hal yang membatalkannya hingga satu bulan penuh yang didalamnya sarat tarbiyah; belajar menahan hawa nafsu, belajar menahan rasa lapar dan haus sebagaimana yang dirasakan saudaranya yang kelaparan tiap hari, dan berlomba-lomba mendekat diri kepada Tuhannya dengan berbagai amal soleh.
Idul Fitri merefleksikan sebuah kemenangan atas perjuangan sebulan penuh, Idul Fitri memiliki makna yang berkaitan erat dengan tujuan yang akan dicapai dari kewajiban berpuasa itu sendiri yaitu manusia yang bertaqwa. Kata Id berdasar dari akar kata aadayauudu yang artinya ‘kembali’ sedangkan fitri bisa berarti suci. Ibnu Mandzur, kata fithri (fa-tha-ra) setidaknnya mencakup enam hal penting, yaitu kesucian, kekuatan, jati diri, asal usul kejadian, memakai pakaian taqwa dan dinnul Islam. Maka bila digabung kata itu menjadi Idul Fitri, artinya kita berharap akan kembali membersihkan diri dalam kesucian diri kita, kembali ke asal usul kita, kembali ke jati diri kita, kembali memakai pakaian taqwa, 
Dimana-mana kita mendengar ucapan "Minal Aidin wal-Faizin" yang artinya “Semoga kita termasuk orang-orang yang kembali dan menjadi orang-orang menang." Lantas kemenangan milik siapa?, menang untuk apa?. Lafadz kemenangan itu pun menjadi ciri khas dari kedatangan hari kemenangan. Jika ditelisik lebih jauh, apa sebetulnya arti kemenangan tersebut? Dan siapakah orang-orang yang menang sebetulnya?
Menjadi orang menang atau al-faizin itu memiliki beberapa arti. Pertama, orang-orang menang adalah mereka yang memang sudah satu bulan penuh mengikuti training rohani dengan maksimal. Mereka memaksimalkan setiap harinya dengan memperbanyak melakukan hal-hal baik. Dimulai sejak sahur di pagi hari, pergi ke masjid untuk melaksanakan qiamul lail, tadarus-tadabur al-qur’an, salat subuh berjemaah, melakukan puasa dengan sungguh-sungguh, memperbanyak I’tikaf di masjid, serta kesediaan untuk memperbanyak membantu orang lain yang membutuhkan yaitu mengasah menjadi pribadi yang soleh dan mushlih.
Kedua, orang-orang menang adalah mereka yang sudah berhasil menggeser orientasi hidupnya yang sebelumnya berpusat kepada individu (egosentris) menjadi pribadi yang sangat peka dengan orang lain (soleh sosial). Puasa yang dilewatinya melatih pribadi yang peka dengan orang lain. Jika selama ini kita tak acuh dengan orang lain, selepas puasa kita menjadi sosok yang peduli dengan orang lain. Mereka yang terlemahkan (mustadha’fîn) dalam kehidupan sehari-hari menjadi fokus kita. Sebagaimana Allah mendidik kita dengan perintah wajibNya bagi tiap individu harus mengeluarkan zakat fitrah yang artinya kita harus peka terhadap sesama.
Akan tetapi, apakah kita sudah benar-benar menunaikannya amalan-amalan tersebut?, apakah kita sudah betul-betul ikhlas hidup dan menghidupi hari-hari bersama bulan romadhan? Apakah kita sudah mengalahkan sifat-sifat hewaniyah diatas sifat-sifat rububiyah? Ataukah justru kita lalai diri dan menyia-nyiakan kesempatan masuk ke pintu pengampunan yang terdapat di dalamnya, yaitu sibuk diri mempersiapkan dalam penyambutan dzahiriyah Idul Fitri; sibuk dengan pakaian baru semata, sibuk bersih-bersih rumah berhari-hari dan semacamnya.
Kalah dan menang adalah lawan kata. Dua sisi yang bertentangan ini adalah sifat keunggulan manusia dari makhluk yang lain (akhsanu takwin) dan kedua ini diciptakan agar manusia menjadi lebih sempurna (insan al-kamil) sebagaimana terkandung dalam Q.S. Asy-Syams ayat 8 yang menjelaskan pentingnya tazkiyatu nafs (penyempurnaan/ pensucian jiwa) agar kita menjadi hamba yang bertakwa (berhati-nurani) dan jauh dari  "kefasikan" (hawa nafsu kebinatangan)” dan, memang selama Ramadhan kita diajarkan bagaimana terus membunuh nafsu dan menghancurkannya, termasuk menghancurkan lemak-lemak atau virus yang bisa menimbulkan penyakit dalam tubuh kita. Semoga Allah memberikan kesempatan kita kembali menjumpai bulan ramadhan berikutnya. Amin Allahuma Amin! Allahua’lam bishawab…

0 Comments:

Posting Komentar