Implikasi Puasa Ramadhan Bagi Kemenangan Jiwa yang Fitri

 

IMPLIKASI PUASA RAMADHAN BAGI KEMENANGAN JIWA YANG FITRI
(Abd. Wahid, S.Pd., M.Si)*



Kalimat “kemenangan” sering kita dengar disaat-saat menyambut ‘idul fitri. Kalimat KEMEMANGAN seakan-akan kita baru saja memenangkan dari pertempuran di medan perang, dengan penuh kegembiraan karena kita mampu mengalahkan pihak musuh yang sangat geram padanya. Namun kemenangan dalam konteks Idul Fitri artinya kemenangan dari segi bahasa, berarti kemampuan mengalahkan lawan atau musuh. Menang juga bisa diartikan sukses dalam ujian. Tetapi ketika kita berkata semoga kita termasuk orang yang kembali kepada fitrah kesucian kita dan meraih kemenangan, yaitu kemenangan melawan hawa nafsuh dimensi syaithaniyah.

Sebagaimana setelah perang Badar, para sahabat bertanya kepada Nabi Muhammad SAW tentang jihad yang lebih besar dari Perang Badar. Nabi Muhammad SAW menjawab, "Jihad melawan hawa nafsu". Jihad melawan hawa nafsu adalah jihad yang terbesar karena nafsu merupakan musuh dari dalam diri.

 

Puncak Tujuan Perintah Puasa Ramadhan

Sebagaimana dikemukakan dalam surat al-Baqarah ayat ke-183; "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa". Aktivitas ibadah, terutama puasa selama bulan Ramadhan, mengandung nilai instrumental sebagai suatu sarana untuk mencapai predikat sebagai hamba Allah yang bertaqwa. Dengan mengemukakan pandangan ini-nilai instrumental puasa dimaksudkan untuk mengembangkan suatu kesadaran dalam beragama bahwa puasa, sebagaimana ibadah-ibadah lainnya, bukan tujuan, melainkan sebagai sarana untuk mencapai kondisi keberagamaan ideal, yaitu taqwa Hal ini penting dikemukakan karena mungkin ada di antara kita memiliki pemahaman terhadap kewajiban ibadah sebatas formalitas, dalam arti sekedar menggugurkan kewajiban. Ibadah yang sebatas formalitas, menurut pandangan tokoh Sufi, seperti Ibnu Athaillah, tak ubahnya seperti kerangka. Lengkapnya: 

الأعمال صُوَرَ قَائِمَةً وَأَرْوَاحُهَا وُجُودُ سِرِّ الْإِخْلَاصِ فِيهَا

"Amal itu kerangka yang tegak dan ruhnya adalah adanya rahasia keikhlasan di dalamya."

 

Dimensi Taqwa

Taqwa merupakan konsep kunci etik-spiritual yang disebut lebih dari dua ratus kali dalam al-Qur'an. Setidaknya pada setiap menghadiri shalat Jum'at, kita diingatkan akan pentingnya menjaga kualitas ketaqwaan.

يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُمْ مُسْلِمُونَ

 "Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa, dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim. (QS. Ali Imran: 102) Seruan dan seringnya kata taqwa disebutkan dalam al-Qur'an, menjadi petunjuk nyata akan pentingnya taqwa meminjam suatu frasa dalam literatur sosiologi, taqwa memiliki makna dan fungsi sebagai "the sacred canopy", "pelindung suci. Sebagaimana lazimnya kanopi pada bangunan yang memberikan efek perlindungan dan keindahan, taqwa juga demikian. Taqwa dapat melindungi kita dari godaan-godaan dan terpaan-terpaan untuk mengerjakan sesuatu yang dilarang Allah; dan kepribadian kita terlihat indah karena kebaikan yang kita wujudkan. Tentu ada proses secara gradual yang harus dilalui hingga kemudian pada diri kita terdapat "the sacred canopy" berupa taqwa.

 

Menghadirkan Tauhid Rububiyah

Untuk memahami proses ini, penting disegarkan kembali pemahaman pengertian kita terhadap konsep taqwa, di antaranya sebagaimana dikemukakan oleh Imam al-Ghazali atau al-Imam Zainuddin Hujjah al al-Islam Abu Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad ath-Thusi. Dengan merujuk pada al-Qur'an, al-Ghazali dalam Minhajul Abidin ila Jannati Rabbil 'Alamin, mengemukakan tiga pengertian taqwa, yaitu: (1) al-Khasyyah wa al-Hibah (takut dan segan) kepada Allah; (2) al-Tha'ah wa alibadah (taat dan ibadah); (3) Tanzihu al-Qalb 'an al-Dzunub (penyucian hati dari dosa-dosa).

Taqwa dengan demikian merupakan suatu proses secara gradual yang dimulai dengan munculnya rasa takut dan segan terhadap kekuasaan Allah, yang pada proses berikutnya karena takut dan segan kepada Allah dilanjutkan dengan ketaatan dalam melaksanakan ibadah seperti puasa Ramadhan. Puncak ketaqwaan pada akhirnya adalah tanzihu al-qalb 'an al-dzunub (penyucian hati dari dosa-dosa). Inilah taqwa yang sebenar-benarnya (haqqa tukotih) sebagaimana dikemukakan dalam ayat 102 dalam surat al-Imran.

Orang yang bertaqwa pada gilirannya adalah yang memiliki kemampuan ruhani atau spiritual menjauhkan dirinya dari segala perbuatan yang termasuk dalam kategori “dosa-dosa hati” yang dalam Bidayah al-Hidayah, juga karya al-Ghazali, meliputi: a) al-hasad (dengki), b) al-riya' (pamer amal); c) al-Ujub (mengagumi dan menyobongkan diri); dan d) bathar (serakah). Keempat "dosa hati" atau disebut juga "kejahatan hati' (khabaits al-qalb), menurut al-Ghazali merupakan “induk bagi sejumlah keburukan" (ummahat lijumlati mi al-khabaits) yang dapat membawa kepada kebinasaan (al-muhikah) pada seseorang.

Kemampuan membebaskan diri dari "dosa-dosa hati" dan dosa-dosa lainnya merupakan penanda bahwa seseorang telah memiliki kesadaran akan "Kehadiran Tauhid Rububiyah" dalam dirinya. Kesadaran ini, yang bisa dikatakan sebagai puncak pengalaman spritual, merupakan esensi ketaqwaan. Dalam al-Qur'an, surat al-Hadid, pada penghujung ayat ke-4, terdapat penegasan sebagai berikut:

وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ ، وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

"Dan Dia (Allah) bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Hadid: 4)

Jika Allah ‘azza wa jalla telah menjamin akan membersamai bagi pribadi yang bertaqwa dalam kehidupannya, maka pasti dia akan menjadi manusia beruntung dan selalu mendapatkan kemenangan dalam situasi apapun.

Dalam konteks apapun akan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub), baik dengan cara melaksanakan "ibadah mahdhoh" maupun "ibadhah ghairu mahdhoh". Kualitas taqwa yang demikian, senantiasa merasakan "kehadiran Allah", akan menghasilkan tindakan yang mengandung kebaikan, dan sebaliknya, tidak ingin mendekati perbuatan, sebagaimana disebut dalam al-Qur'an, surat an-Nahl ayat 90, yaitu: al-fahsya', al-munkar, dan al-baghy.

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَنِ وَإِيتَانِ ذِي الْقُرْبَى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيَّ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil, berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran." (Q.S. An-Nahl:90).

Dalam Tafsir al-Munir, ketiga jenis keburukan ini diartikan sebagai berikut: "al-Fahsya' ada;ah sesuatu yang diharamkan seperti perbuatan zina, mencuri,, menenggak minuman keras, dan mengambil harta orang lain secara batil; al-Munkar adalah apa yang dinilai buruk oleh syariat dan akal, serta perbuatan perbuatan keji yang tampak, seperti membunuh dan melakukan kekerasan fisik tanpa hak dan alasan yang dibenarkan, menghina dan meremehkan orang lain, mengingkari dan menyangkal hak-hak orang lain; al-Baghy adalah menzalimi orang lain dan melanggar hak-hak mereka?"

 

Penguatan Etos Ketaqwaan

Adanya situasi yang kontras atau paradoks pada beberapa aspek kehidupan sosial kita dengan kehidupan keagamaan merupakan petunjuk penting bahwa nilai-nilai keagamaan belum terinternalisasi. Datangnya bulan Ramadhan yang dikenal juga sebagai syahrus shiyam seharusnya merupakan momentum untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan dengan pengertian taqwa yang sebenar-benarnya, yakni terbentuknya kesadaran yang kuat dan mendalam bahwa Allah merupakan zat mutlak yang senantiasa hadir dan mengawasi sendi-sendi kehidupan. Dalam konteks perilaku politik yang tamak “memerkaya diri dan orang-orang di sekitarnya” koruptif, menggagahkan kekayaan (pamer), semena-mena dalam menjalankan kekuasaan, hedon dan perilaku tercela lainnya. Sementara dalam konteks keluarga; lemahnya pengawasan seorang suami dalam membimbing istri dan anak-anaknya, minimnya sikap taat istri kepasa suaminya, dan kasarnya ucapan dan perilaku anak kepada orang tuanya. Hal itu mengindasikan masih rendahnya kesadaran ilahiah tersebut. Ketaqwaan dalam arti yang sebenar-benarnya yang melekat pada diri seseorang mengondsikan hati yang bersih (al-qalb al-salim), kondisi hati semacam inilah yang menjadi tempat meminta pertimbangan etik terhadap perbuatan yang kita lakukan, sebagaimana hadist berikut ini:

استَفْتِ قَلْبَكَ الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ، وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِي النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ

"Mintalah fatwa kepada hatimu! Kebajikan adalah apa yang menenangkan jiwa dan menenangkan hati, sedangkan dosa adalah apa yang membuat jiwa ragu dan bimbang di dalam dada."

Penjelasan Nabi yang disampaikan kepada Wabishah pada hadist di atas, terkandung makna yang mendalam bahwa sejatinya hati manusia merupakan sumber petunjuk kebenaran bagi setiap manusia, pemberi pertimbangan terhadap perbuatan yang buruk dan baik. Seseorang yang melakukan perbuatan dosa atau kejahatan, sejatinya mengetahui bahwa tindakan tersebut tidak boleh dilakukan karena bertentangan dengan hati nurani, dan karena itu bertentangan pula dengan agama.

Supaya hati tetap dalam kondisi fitri (bersih) atau sehat, terhindar dari hati yang sakit (al-qalb al-marid), apalagi menjadi hati yang mati (al-qalb al-mayyit), diperlukan suatu "lelaku" yang dilakukan secara rutin, di antaranya puasa Ramadhan. Tindakan "memerkaya diri" merupakan indikasi nyata ketamakan, salah satu penyakit hati, atau pantulan dari "hati yang sakit” (al-qalb al-maridl). Puasa Ramadhan pada dasarnya merupakan sarana tarbiyah, melatih diri untuk merasakan kehadiran Allah sehingga kita mencapai predikat manusia taqwa-sekali lagi dalam pengertian taqwa yang sebenar-benarnya. Pihak yang paling tahu terhadap pelaksanaan puasa adalah pelaku sendiri dan Allah. Bisa jadi tanpa sepengetahuan orang lain, kita membatalkan puasa atau hilangnya pahala puasa, lalu kita mengakui masih berpuasa. Tetapi karena memiliki kesadaran Allah sebagai "God consciousness", meskipun dalam kondisi haus dan lapar, puasa tetap dipertahankan hingga berbuka dan dilaksanakan selama sebulan penuh.

Latihan merasakan "kehadiran Allah" secara ruhani atau spiritual selama bulan Ramadhan perlu kita rawat dan ditransformasikan dalam keseharian di luar bulan Ramadhan. Puasa selama sebulan dalam bulan Ramadhan, mampu mendidik diri kita dan kelauarga yang peduli penuh cinta kepada Allah (hablu minaAllah), melahirkan hati bersih yang melahirkan kepedulian sosial (hablu minannas). Semoga!

SELAMAT BERBAHAGIA MERAYAKAN 'IDUL FITRI 1446 H.🙏

TaqobbalaAllahu minna waminkum Sholihal a'mal 🤲


 

*Kepala MA Al-Umm Kota Malang



Referensi
Al-Qur’an dan Terjemahannya.
Abbdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf, (Jakarta: Qisthi Press, 2005.
Al-Ghazali, Minhajul Abidin ila Jannati Rabbil 'Alamin
Arifin Syamsul, Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan (Yogyakarta:  SIPRESS, 1996)
A. Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam. (Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Abdul Majid, Fitrah dan Kepribadian Islam: Sebuah Pendekatan Psikologis. (Jakarta: Darul Falah, 1999.
Nasution, Harun. Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1995
Murtadha  Muthahhari,  Perspektif  Alquran  tentang  manusia  dan  agama,  (Mizan,  Bandung, Cet. VI, 1413/1992.
 

 

0 Comments:

Posting Komentar