Kalimat “kemenangan” sering kita dengar disaat-saat
menyambut ‘idul fitri. Kalimat KEMEMANGAN seakan-akan kita baru saja
memenangkan dari pertempuran di medan perang, dengan penuh kegembiraan karena kita
mampu mengalahkan pihak musuh yang sangat geram padanya. Namun kemenangan
dalam konteks Idul Fitri artinya kemenangan dari segi bahasa, berarti kemampuan
mengalahkan lawan atau musuh. Menang juga bisa diartikan sukses dalam ujian.
Tetapi ketika kita berkata semoga kita termasuk orang yang kembali kepada
fitrah kesucian kita dan meraih kemenangan, yaitu kemenangan melawan hawa
nafsuh dimensi syaithaniyah.
Sebagaimana setelah perang Badar, para sahabat
bertanya kepada Nabi Muhammad SAW tentang jihad yang lebih besar dari Perang
Badar. Nabi Muhammad SAW menjawab, "Jihad melawan hawa nafsu". Jihad
melawan hawa nafsu adalah jihad yang terbesar karena nafsu merupakan musuh dari
dalam diri.
Puncak Tujuan Perintah Puasa Ramadhan
Sebagaimana dikemukakan dalam surat al-Baqarah ayat ke-183; "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa". Aktivitas ibadah, terutama puasa selama bulan Ramadhan, mengandung nilai instrumental sebagai suatu sarana untuk mencapai predikat sebagai hamba Allah yang bertaqwa. Dengan mengemukakan pandangan ini-nilai instrumental puasa dimaksudkan untuk mengembangkan suatu kesadaran dalam beragama bahwa puasa, sebagaimana ibadah-ibadah lainnya, bukan tujuan, melainkan sebagai sarana untuk mencapai kondisi keberagamaan ideal, yaitu taqwa Hal ini penting dikemukakan karena mungkin ada di antara kita memiliki pemahaman terhadap kewajiban ibadah sebatas formalitas, dalam arti sekedar menggugurkan kewajiban. Ibadah yang sebatas formalitas, menurut pandangan tokoh Sufi, seperti Ibnu Athaillah, tak ubahnya seperti kerangka. Lengkapnya:
الأعمال صُوَرَ قَائِمَةً وَأَرْوَاحُهَا وُجُودُ سِرِّ الْإِخْلَاصِ فِيهَا
"Amal itu kerangka yang tegak dan ruhnya
adalah adanya rahasia keikhlasan di dalamya."
Dimensi Taqwa
Taqwa merupakan konsep kunci etik-spiritual
yang disebut lebih dari dua ratus kali dalam al-Qur'an. Setidaknya pada setiap
menghadiri shalat Jum'at, kita diingatkan akan pentingnya menjaga kualitas
ketaqwaan.
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ
حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُمْ مُسْلِمُونَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah
dengan sebenar-benar takwa, dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan
Muslim. (QS. Ali Imran: 102) Seruan dan seringnya kata taqwa disebutkan dalam
al-Qur'an, menjadi petunjuk nyata akan pentingnya taqwa meminjam suatu frasa
dalam literatur sosiologi, taqwa memiliki makna dan fungsi sebagai "the sacred canopy", "pelindung suci. Sebagaimana lazimnya
kanopi pada bangunan yang memberikan efek perlindungan dan keindahan, taqwa
juga demikian. Taqwa dapat melindungi kita dari godaan-godaan dan
terpaan-terpaan untuk mengerjakan sesuatu yang dilarang Allah; dan kepribadian
kita terlihat indah karena kebaikan yang kita wujudkan. Tentu ada proses secara
gradual yang harus dilalui hingga kemudian pada diri kita terdapat "the
sacred canopy" berupa taqwa.
Menghadirkan Tauhid Rububiyah
Untuk memahami proses ini, penting disegarkan
kembali pemahaman pengertian kita terhadap konsep taqwa, di antaranya
sebagaimana dikemukakan oleh Imam al-Ghazali atau al-Imam Zainuddin Hujjah al
al-Islam Abu Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad ath-Thusi. Dengan
merujuk pada al-Qur'an, al-Ghazali dalam Minhajul Abidin ila Jannati Rabbil
'Alamin, mengemukakan tiga pengertian taqwa, yaitu: (1) al-Khasyyah wa al-Hibah (takut dan segan) kepada Allah; (2) al-Tha'ah
wa alibadah (taat dan ibadah); (3) Tanzihu al-Qalb 'an al-Dzunub (penyucian
hati dari dosa-dosa).
Taqwa dengan demikian merupakan suatu proses
secara gradual yang dimulai dengan munculnya rasa takut dan segan terhadap
kekuasaan Allah, yang pada proses berikutnya karena takut dan segan kepada
Allah dilanjutkan dengan ketaatan dalam melaksanakan ibadah seperti puasa
Ramadhan. Puncak ketaqwaan pada akhirnya adalah tanzihu al-qalb 'an
al-dzunub (penyucian hati dari dosa-dosa). Inilah taqwa yang
sebenar-benarnya (haqqa tukotih) sebagaimana dikemukakan dalam ayat 102 dalam
surat al-Imran.
Orang yang bertaqwa pada gilirannya adalah yang
memiliki kemampuan ruhani atau spiritual menjauhkan dirinya dari segala
perbuatan yang termasuk dalam kategori “dosa-dosa hati” yang dalam Bidayah
al-Hidayah, juga karya al-Ghazali, meliputi: a) al-hasad (dengki), b) al-riya'
(pamer amal); c) al-Ujub (mengagumi dan menyobongkan diri); dan d) bathar (serakah). Keempat
"dosa hati" atau disebut juga "kejahatan hati' (khabaits
al-qalb), menurut al-Ghazali merupakan “induk bagi sejumlah keburukan"
(ummahat lijumlati mi al-khabaits) yang dapat membawa kepada kebinasaan
(al-muhikah) pada seseorang.
Kemampuan membebaskan diri dari "dosa-dosa
hati" dan dosa-dosa lainnya merupakan penanda bahwa seseorang telah
memiliki kesadaran akan "Kehadiran Tauhid Rububiyah" dalam dirinya.
Kesadaran ini, yang bisa dikatakan sebagai puncak pengalaman spritual,
merupakan esensi ketaqwaan. Dalam al-Qur'an, surat al-Hadid, pada penghujung
ayat ke-4, terdapat penegasan sebagai berikut:
وَهُوَ مَعَكُمْ
أَيْنَ مَا كُنتُمْ ، وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
"Dan Dia (Allah) bersama kamu di mana saja
kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (QS.
Al-Hadid: 4)
Jika Allah ‘azza wa jalla telah menjamin
akan membersamai bagi pribadi yang bertaqwa dalam kehidupannya, maka pasti dia
akan menjadi manusia beruntung dan selalu mendapatkan kemenangan dalam situasi
apapun.
Dalam konteks apapun akan senantiasa mendekatkan
diri kepada Allah (taqarrub), baik dengan cara melaksanakan "ibadah mahdhoh"
maupun "ibadhah ghairu mahdhoh". Kualitas taqwa yang demikian,
senantiasa merasakan "kehadiran Allah", akan menghasilkan tindakan
yang mengandung kebaikan, dan sebaliknya, tidak ingin mendekati perbuatan,
sebagaimana disebut dalam al-Qur'an, surat an-Nahl ayat 90, yaitu: al-fahsya',
al-munkar, dan al-baghy.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَنِ وَإِيتَانِ ذِي الْقُرْبَى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيَّ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu)
berlaku adil, berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah
melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran." (Q.S.
An-Nahl:90).
Dalam Tafsir al-Munir, ketiga jenis keburukan
ini diartikan sebagai berikut: "al-Fahsya' ada;ah sesuatu
yang diharamkan seperti perbuatan zina, mencuri,, menenggak minuman keras, dan
mengambil harta orang lain secara batil; al-Munkar adalah apa yang
dinilai buruk oleh syariat dan akal, serta perbuatan perbuatan keji yang
tampak, seperti membunuh dan melakukan kekerasan fisik tanpa hak dan alasan
yang dibenarkan, menghina dan meremehkan orang lain, mengingkari dan menyangkal
hak-hak orang lain; al-Baghy adalah menzalimi orang lain dan melanggar
hak-hak mereka?"
Penguatan Etos Ketaqwaan
Adanya situasi yang kontras atau paradoks pada
beberapa aspek kehidupan sosial kita dengan kehidupan keagamaan merupakan
petunjuk penting bahwa nilai-nilai keagamaan belum terinternalisasi. Datangnya
bulan Ramadhan yang dikenal juga sebagai syahrus shiyam seharusnya
merupakan momentum untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan dengan pengertian
taqwa yang sebenar-benarnya, yakni terbentuknya kesadaran yang kuat dan
mendalam bahwa Allah merupakan zat mutlak yang senantiasa hadir dan mengawasi sendi-sendi
kehidupan. Dalam konteks perilaku politik yang tamak “memerkaya diri dan
orang-orang di sekitarnya” koruptif, menggagahkan kekayaan (pamer), semena-mena
dalam menjalankan kekuasaan, hedon dan perilaku tercela lainnya. Sementara dalam
konteks keluarga; lemahnya pengawasan seorang suami dalam membimbing istri dan
anak-anaknya, minimnya sikap taat istri kepasa suaminya, dan kasarnya ucapan
dan perilaku anak kepada orang tuanya. Hal itu mengindasikan masih rendahnya
kesadaran ilahiah tersebut. Ketaqwaan dalam arti yang sebenar-benarnya yang
melekat pada diri seseorang mengondsikan hati yang bersih (al-qalb al-salim), kondisi
hati semacam inilah yang menjadi tempat meminta pertimbangan etik terhadap
perbuatan yang kita lakukan, sebagaimana hadist berikut ini:
استَفْتِ قَلْبَكَ الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ
إِلَيْهِ النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ، وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِي
النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ
"Mintalah fatwa kepada hatimu! Kebajikan
adalah apa yang menenangkan jiwa dan menenangkan hati, sedangkan dosa adalah
apa yang membuat jiwa ragu dan bimbang di dalam dada."
Penjelasan Nabi yang disampaikan kepada
Wabishah pada hadist di atas, terkandung makna yang mendalam bahwa sejatinya
hati manusia merupakan sumber petunjuk kebenaran bagi setiap manusia, pemberi
pertimbangan terhadap perbuatan yang buruk dan baik. Seseorang yang melakukan
perbuatan dosa atau kejahatan, sejatinya mengetahui bahwa tindakan tersebut
tidak boleh dilakukan karena bertentangan dengan hati nurani, dan karena itu
bertentangan pula dengan agama.
Supaya hati tetap dalam kondisi fitri (bersih)
atau sehat, terhindar dari hati yang sakit (al-qalb al-marid), apalagi
menjadi hati yang mati (al-qalb al-mayyit), diperlukan suatu
"lelaku" yang dilakukan secara rutin, di antaranya puasa Ramadhan.
Tindakan "memerkaya diri" merupakan indikasi nyata ketamakan, salah
satu penyakit hati, atau pantulan dari "hati yang sakit” (al-qalb
al-maridl). Puasa Ramadhan pada dasarnya merupakan sarana tarbiyah, melatih
diri untuk merasakan kehadiran Allah sehingga kita mencapai predikat manusia
taqwa-sekali lagi dalam pengertian taqwa yang sebenar-benarnya. Pihak yang
paling tahu terhadap pelaksanaan puasa adalah pelaku sendiri dan Allah. Bisa
jadi tanpa sepengetahuan orang lain, kita membatalkan puasa atau hilangnya
pahala puasa, lalu kita mengakui masih berpuasa. Tetapi karena memiliki
kesadaran Allah sebagai "God consciousness", meskipun dalam
kondisi haus dan lapar, puasa tetap dipertahankan hingga berbuka dan
dilaksanakan selama sebulan penuh.
Latihan merasakan "kehadiran Allah" secara ruhani atau spiritual selama bulan Ramadhan perlu kita rawat dan ditransformasikan dalam keseharian di luar bulan Ramadhan. Puasa selama sebulan dalam bulan Ramadhan, mampu mendidik diri kita dan kelauarga yang peduli penuh cinta kepada Allah (hablu minaAllah), melahirkan hati bersih yang melahirkan kepedulian sosial (hablu minannas). Semoga!
SELAMAT BERBAHAGIA MERAYAKAN 'IDUL FITRI 1446 H.🙏
TaqobbalaAllahu minna waminkum Sholihal a'mal 🤲