Kehormatan
manusia adalah pengetahuannya. Orang-orang bijak adalah suluh yang menerangi
jalan setapak kebenaran. Di dalam pengetahuan terletak kesempatan manusia untuk
keabadian. Sementara manusia bisa mati, kebijakan hidup abadi (Ali bin Abu
Thalib)
Rasa ingin tahu merupakan
salah satu sifat dasar manusia sebagai animal rational; yaitu
makhluk yang berpikir sehingga ia mengungguli dari pada mahkluk-makhluk Allah
yang lainnya. Berangkat dari kemampuan berpikir manusia itulah, maka
perkembangan ilmu pengetahuan (science) yang mula-mula berakar dari
filsafat (mother of science) melalui proses metode ilmiah, berkembang hingga
kini terus berlanjut tak berkesudahan sepanjang sejarah umat manusia.
Akhirnya ultimate reality dari suatu ilmu pengetahuan yang dirancang
manusia adalah untuk suatu keberlanjutan hidup yang beradab, atau lebih dari
pada itu.
Pengetahuan yang
dipergunakan dalam penalaran pada dasarnya bersumber pada rasio atau fakta.
Mereka yang berpendapat bahwa rasio adalah sumber kebenaran mengembangkan paham
yang kemudian disebut sebagai rasionalisme. Sedangkan mereka
yang menyatakan bahwa fakta yang tertangkap lewat pengalaman manusia merupakan
sumber kebenaran yang disebut paham empirisme[2]. Disamping
itu ada pula kebenaran yang bersumber berupa pengetahuan yang diwartakan atau
diberitakan seperti wahyu yang diberikan Tuhan melalui
malaikat-malaikat dan nabi-nabi-Nya.
Kemampuan nalar-pikir
membawa manusia mampu mengembangkan pengetahuan yang merupakan rahasia
kekuasaannya. Secara simbolik, manusia memakan buah pengetahuan lewat Adam dan
Hawa dan setelah itu manusia harus hidup berbekal pengetahuan ini. Dia
mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang
buruk, serta mana yang indah dan mana yang jelek. Secara terus menerus dia
dipaksa harus mengambil pilihan untuk hidup (the life is choice); mana
jalan yang benar mana jalan yang salah, mana ucapan yang mulia mana ucapan yang
hina serta mana tindakan yang baik dan mana tindakan yang buruk. Dalam
melakukan pilihan tersebut manusia dipaksa berpijak pada suatu pengetahuan yang
dipertimbangkan melalui nalar berpikir ilmiah yang disebut ilmu pengetahuan.
Dengan pengetahuan (knowledge),
manusia mampu mengembangkan kebudayaan; manusia memberi “makna” kepada
kehidupannya, manusia memanusiakan diri dalam hidupnya dan lebih dari itu, pada
hakikatnya manusia dalam hidupnya memiliki tujuan tertentu yang lebih tinggi (ultimate
goal) dari sekedar kelangsungan hidup semata. Inilah yang menyebabkan
manusia mengembangkan pengetahuannya dan pengetahuannya jugalah yang mendorong
manusia menjadi makhluk yang bersifat khas dan memiliki derajat dimuka bumi
(QS.58:11).
Mon taoh ta’ repot, ya
memang benar kalau sudah mengetahui akan suatu hal maka manusia tidak akan
mengalami kebingungan/kegalauan dalam menentukan pilihan baik berupa sikap,
perkataan, maupun perbuatannya. Sesungguhnya orientasi manusia belajar adalah
proses untuk memperoleh dan menghimpun ilmu pengetahuan guna dapat dipergunakan
untuk “menjawab” persoalan hidup yang dihadapi dalam kesehariaanya. Segala tata
cara hidup akan membutuhkan ilmu, dimulai dari perkara yang paling kecil sampai
hal yang paling besar. Maka tidak ada alasan lain bagi kita untuk tidak
menghargai dan mencintai ilmu pengetahuan baik yang diperoleh dari pengalaman
hidup (kontekstual-faktual) maupun melalui proses pendidikan yang diajarkan di
lembaga-lembaga.
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap anak
manusia, oleh karenanya pemerintah Indonesia sudah mencanangkan program wajib
sekolah 9 tahun. Pentingnya pendidikan juga terlihat dari besarnya anggaran
yang disediakan oleh pemerintah untuk bidang pendidikan, yaitu sebesar 20% dari
total APBN Indonesia. Dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 107 Tahun 2017
tentang Rincian APBN 2018, pemerintah mengalokasikan Rp 444,13 triliun untuk
pendidikan dari total anggaran belanja senilai Rp 2.220 triliun di 2018.
Alokasi dana tersebut bagian dari bentuk bantuan beasiswa afirmasi pemerintah
untuk memajukan pendidikan anak bangsa.
Program tersebut merupakan salah satu upaya pemerintah dalam
memutus mata rantai kemiskinan, dalam rangka meningktakan pembangunan manusia
di sektor pendidikan. Dengan adanya peluang tersebut, maka tidak ada alasan
untuk tidak melanjutkan pendidikan tinggi atau takut persoalan biaya.
Berbicara pendidikan
merupakan salah satu kebutuhan manusia yang tidak lepas dari peran “segitiga
pendidikan” yang ikut andil dalam memanusiakan manusia; meliputi keluarga,
sekolah dan masyarakat (civil society). Ketiga agen tersebut tidak bisa
dipisahkan dalam proses pembentukan karakter anak manusia.
Di masa lalu, suatu
masyarakat yang mampu atau bisa membaca, menulis dan menghitung (calistung)
sudah dianggap unggul. Namun, di masa kini dan akan datang kemampuan
“calistung” sudah hal biasa dan kurang berarti dibanding mereka yang ahli dalam
berbagai bidang kehidupan atau memiliki kemampuan lebih (multi skill). Indonesia telah memasuki Mayarakat Ekonomi Asian (MEA),
yaitu akses pintu masuk pasar bebas (Asia Free Trade Area/AFTA) yang
menuntut sumber daya manusia Indonesia yang siap bersaing di negeri sendiri
yang tidak hanya dinikmati masyarakat asing. Maka gairah dan semangat belajar
terus tertancap dalam menghadapi pertarungan pasar yang semakin sengit dalam
merebut “panggung kehidupan” di masa yang akan datang sedangkan kompetitor
terus menjamur menyesakkan diberbagai sektor. Maju atau mati!.
Tujuan pendidikan menurut
Ibnu Khaldun (1332-1406) dalam mencetak generasi adalah: a) Memberikan
kesempatan kepada pikiran untuk aktif dan bekerja, karena aktifitas penting
bagi terbukanya pikiran dan kematangan individu, yang pada gilirannya
kematangan individu ini bermanfaat bagi masyarakat. b) Memperoleh berbagai ilmu
pengetahuan, sebagai alat yang membantu manusia agar dapat hidup dengan baik,
dalam rangka mewujudkannya masyarakat yang maju dan berbudaya dan
c) Memperoleh lapangan pekerjaan yang dapat digunakan untuk mencari
penghidupan[3].
Sebelum mengakhiri paragrap
demi paragrap yang sangat sederhana diatas, maka setiap individu yang
ber-metamorfosis melalui proses pendidikan dan rehabilitasi moral-spiritual (tafaqquh
fiddin), sebagaimana “tupoksi” pondok pesantren yang telah sukses banyak
mengantarkan output-nya menjadi insan kamil, pintar, dan shaleh (tidak blenger);
yaitu bagi mereka yang sami’na wa atha’na terhadap hukum
institusi sehingga keberkahan ilmu (barokah) terus mengalir sampai nafas
tak dikandung. Amin ya Robal ‘alamin!
Allahu ‘a’lam bishawab.
“Belajar adalah sikap
berani menantang setiap ketidakmungkinan bahwa ilmu yang tak dikuasai akan
menjelma di dalam diri manusia menjadi sebuah ketakutan, belajar dengan keras
hanya bisa dilakukan oleh pemberani yang suka perubahan dan perubahan hanya bagi
mereka yang ingin berubah”
[1] Tema
ini menjadi kajian yang pernah disampaikan pada acara Tasyakuran Milad ke - 25th MA
Al-Falah Dempo Barat Kec. Pasean Kab. Pamekasan, oleh Abd. Wahid, S.Pd. M.Si. .
[2] Kebenaran
dapat dilihat dengan pendekatan teori coherence, correspondence,
pragmatism bahkan transcendental yang bersumber pada
wahyu Allah.
[3] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan
Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2006), hal.242.
0 Comments:
Posting Komentar