Pondok pesantren sebagai suatu pranata atau institusi keagamaan, pendidikan maupun sosial memang cukup menarik untuk dicermati dan dibahas dari berbagai sisi, adapun yang menjadi fokus perbincangan atau pertanyaan dari berbagai pihak adalah bagaimana peran dan posisi pesantren sebagai sebuah pranata atau institusi keagamaan, pendidikan maupun sosial bisa bertarung ditengah-tengah terjangan arus globalisasi, modernisasi bahkan westernisasi. Mampukah pesantren tetap gagah mempertahankan posisi sebagai lembaga “tafaqquh fiddin” (yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama) secara mandiri yang bercorak konservatifnya atau latah dengan melakukan proses pemodernisasian sistem.
Kemajuan-kemajuan yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, setelah melihat dampak yang dibawa oleh kemajuan-kemajuan tersebut makin banyak orang yang bersikap kritis dengan mengemukakan implikasi negatifnya. Bentuk implikasi negatif yang sering dilontarkan adalah merosotnya nilai-nilai kehidupan rohani, tercerabutnya budaya-budaya lokal, dan degradasi moral (terutama) yang melanda santri dan generasi muda secara luas. Yang dikwatirkan oleh pesantren adalah dekadensi akhlak atau penyimpangan sosial, bahkan anehnya lagi terkadang penyimpangan sosial itu dilakukan oleh keluarga pesantren itu sendiri, misalnya gus atau nyai berperilaku “aneh”, namun masyarakat menilai itu bukan suatu penyimpangan sosial melainkan “khilaf”, secara teori sosial apapun bentuk penyimpangan yang keluar dari nilai-norma suatu sistem masyarakat maka tetap dikatakan suatu penyimpangan. Nah, bagamana tugas pesantren menyikapi hal tersebut, bukan justeru diam dari permasalahan, karena itu bukan cara terbaik untuk menyelesaikan sebuah problematika yang dihadapi pesantren. Dan apabila tokoh agama, ulama/kiai dan praktisi pesantren kurang kreatif menyikapinya akan kemajuan teknologi dan modernisasi yang terkadang pesantren amat fanatik itu, misalnya mengharamkan santri mengakses teknologi dan ilmu pengetahuan, maka tunggulah keterbelakangan santri ketika santri selesai belajar dari pesantren nantinya, penulis mengibaratkan teknologi bagaikan sebuah pusau, tinggal bagaimana menfungsikan dan memanfaatkan pisau tersebut.
Progresivitas Pesantren
Institusi keagamaan pondok pesantren memiliki potensi besar untuk ikut mendukung pembangunan agama dan akhlak generasi bangsa (Steenbrink, 1986; 44). Sehingga tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa pondok pesantren memiliki dua peran sekaligus, yakni pengembangan pendidikan dan peran pemberdayaan masyarakat (Zuhri, 1999;13). Peran sebagai pengembangan pendidikan dilihat dari misi atau tujuan utama pondok pesantren, yaitu untuk menyebarluaskan ajaran dan universalitas agama Islam, baik dalam dimensi teologi, kultur maupun kondisi sosial ekonomi masyarakat. Peran tersebut dalam konteks kekinian telah menempatkan lembaga pesantren sebagai penyebar ajaran-ajaran Islam di tengah kehidupan masyarakat dengan semangat teologi amar ma’ruf nahi mungkar. Dalam hal ini pesantren telah mampu dengan segenap potensinya berhasil membawa perubahan serta transformasi kehidupan masyarakat dari kekafiran kepada ketaqwaan, dari kejumudan kepada kemajuan, dan dari kefakiran menuju kesejahteraan sehingga kehadiran pondok pesantren menjadi suatu keniscayaan untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Nurcholish Madjid, (1997: 19) menyatakan bahwa tujuan pendidikan pesantren adalah membentuk manusia yang memiliki kesadaran tinggi bahwa ajaran Islam merupakan weltanschauung yang bersifat menyeluruh. Selain itu produk pesantren ini diharapkan memiliki kemampuan tinggi untuk mengadakan responsi terhadap tantangan – tantangan dan tuntutan-tuntutan hidup dalam konteks ruang dan waktu yang ada (Indonesia dan dunia abad sekarang).
Tidak bisa kita pungkiri bahwa pesantren adalah sebuah lembaga sistem pendidikan-pengajaran asli Indonesia yang paling besar dan mengakar kuat, sehingga pesantren melahirkan sikap-sikap yang tasamuh (lapang dada), tawazun (seimbang), dan a'dalah (adil). Dengan begitu, sulit diramalkan akan terjadinya sikap ekstrem atau perusak yang saat ini tengah menjadi hantu menakutkan bagi dunia luar.
Dalam konteks tersebut, terdapat tiga fungsi yang perlu dihidupkan pesantren dewasa ini: 1) pesantren sebagai lembaga pendidikan yang melakukan transfer ilmu-ilmu agama (tafaqquh fiddin) dan nilai-nilai Islam (Islamic values); 2) pesantren sebagai lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial; dan 3) pesantren sebagai lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial (social engineering) atau perkembangan masyarakat (community development). Semua itu, menurutnya hanya bisa dilakukan jika pesantren mampu melakukan proses perawatan tradisi-tradisi yang baik dan sekaligus mengadaptasi perkembangan keilmuan baru yang lebih baik, sehingga mampu memainkan peranan menj adi agent of change.
Pesantren tetap menjadi pelabuhan bagi generasi muda agar tidak terseret dalam arus modernisme yang menjebaknya dalam keham-paan spiritual. Keberadaan pesantren sampai saat ini membuktikan keberhasilannya menja-wab tantangan zaman. Namun akselerasi modernitas yang begitu cepat menuntut pesan-tren untuk tanggap secara cepat pula, sehingga eksistensinya tetap relevan dan signifikan. Masa depan pesantren ditentukan oleh sejauhmana pesantren menformulasikan dirinya menjadi pesantren yang mampu menjawab tuntutan masa depan tanpa kehilangan jati dirinya.
Kemampuan adaptatif pesantren atas perkembangan zaman justru memperkuat eksistensinya sekaligus menunjukkan keunggulannya. Keunggulan tersebut terletak pada kemampuan pesantren menggabungkan kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual. Dari pesantren sejatinya lahir manusia paripurna yang membawa masyarakat (negara) ini mampu menapaki modernitas tanpa kehilangan akar spiritualitasnya. Inilah pesantren masa depan
Perubahan yang terjadi dalam masyarakat sangat mempengaruhi perkembangan budaya setempat. Adapun kehadiran pesantren di tengah-tengah masyarakat ikut memberikan macam-macam corak dalam masyarakat sekitarnya. Karena pada awal berdirinya pesantren telah didukung masyarakat sehingga perubahan yang terjadi di masyarakat pun akan melibatkan keberadaan pesantren
Walaupun pesantren telah mengalami kemandirian dan kemajuan yang menjulang tinggi dalam segala bidang, serta mendapatkan dukungan dari masyarakat luas yang santrinya berdatangan dari berbagai penjuru, tetapi pesantren tidak pernah melupakan aspek dari kehidupan masyarakat disekitarnya, karena pesantren dan masyarakat adalah satu kesatuan utuh yang tidak dapat diceraikan.
Tugas pondok pesantren yang sebenarnya adalah upaya-upaya pengabdian dan menciptakan pembangunan kepada masyarakat yang lebih baik dan bertata nilai sosial yang ajeg, istiqomah dan tetap dalam berperilaku sesuai dengan visi-misi pesantren yaitu nuansa masyarakat yang Islami, dan pesantren pula sebagai penggerak masyarakat berkompetisi dalam kebaikan demi inovasi perbaikan kehidupan yang “rahmatan li al- ‘alamin”.
Integritas Pesantren dan Alumni
Di dunia pesantren hubungan kiai dengan santri sangat erat bahkan ibarat dalam sebuah keluarga. Interaksi kiai dengan warga pesantren yang memegang konsep ”same’na waatha’na” itu merupakan tradisi pesantren yang dilakukan santri terhadap sang kiai. Hubungan ini tentunya menjungjung agung nilai-nilai kepesantrenan, yaitu saling melindungi dan hidup damai dan rukun. Selain itu warga pondok pesantren dikenal sebagai manusia yang dilatih hidup mandiri.
Seorang pemimpin dapat dikatakan pemimipin apabila ada yang dipimpin, kiai bisa dikatakan kiai apabila ada santri, bigitupun sebaliknya. Santri dengan kiai sama-sama mengambil keuntungan (istifadhah) dan tidak boleh ada yang sombong diantaranya, hubungan santri dengan kiai diibaratkan dalam sebuah shalat berjema’ah yang ingin mencapai 27 keutamaan pahala, apabila antara iman dan makmun tidak selaras (mukhalifah ba’idah) maka gugurlah shalat berjema’ah tersebut, begitulah interaksi atau hubungan santri dengan sang kiai
Ketundukan masyarakat Madura terhadap ulama atau kiai tergambar dalam struktur sosial masyarakat Madura yaitu; “Bhapa’-Bhabu’-Guru-Rato” adalah unsur dalam bangunan sosial masyarakat Madura. Jika Buppa (bapak) dan Babu’ (ibu) adalah elemen penting dalam keluarga Madura, maka guru (tokoh panutan) dan rato (pemerintah) adalah unsur penentu dalam dinamika kehidupan sosial masyarakat Madura. Dari bangunan sosial itu tergambar dan disamping itu harus patuh pada Ibu dan Bapak, orang Madura diharapkan juga tunduk kepada tokoh panutan dan pemerintah. Yang disebut tokoh panutan disini adalah pemimpin informal (Mutmainnah, 1998:26). Pemimpin informal adalah mereka yang memimpin masyarakat atau segolongan masyarakat tanpa mendapat loyalitas pemerintah, misalnya; ulama’ sesepuh, tua-tua desa, dan tokoh masyarakat yang berpengaruh.
Dengan jelas, bahwa hubungan santri dengan pesantren (kiai) sampai kapanpun akan terus mengalir dan terikat sampai akhirat, insan yang telah dilahirkan dari rahim pondok pesantren (Sumber Baru Al-Falah) sangat memberikan dampak dalam perubahan pesantren. Dukungan dan loyalitas untuk menumbuh suburkan pesantren tidak lepas dari integritas civitas institusi pesantren. Alumni bagian dari kehidupan pesantren, semakin kuat ikatan emosional alumni maka semakin mengakar eksistensi sebuah pondok pesantren.
Dengan atas kepercayaan alumni dan masyarakat kepada pesantren, itulah merupakan kunci kejayaan eksistensi sebuah pondok pesantren, hal ini yang terus dijaga oleh civitas institusi pesantren dengan tegaknya nilai-nilai budaya pesantren dan agama Islam. Keselarasan pola pikir pesantren, kiai, asatidz, santri, alumni dan masyarakat akan menjadikan pesantren eksis dan bermartabat yang mampu menjawab kebutuhan khalayak ummat.
Wallahu ‘a’lam bishawab...
0 Comments:
Posting Komentar