Krisis moral yang menimpa negeri ini sebenarnya bermula dari kerancuan dalam memahami esensi atau makna dan peran pendidikan yang sesungguhnya. Indikasinya lebih nyata ketika praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, justru paling banyak dilakukan oleh kaum terdidikyang dilahirkan perguruan tinggi. Padahal, perguruan tinggi dianggap sebagai gerbang akhir dari proses pendidikan. Tetapi, mengapa para koruptor kelas kakap dan preman-preman politik justru dilahirkan dari kalangan yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi?. Tentu, terdapat sesuatu yang kurang tepat dan akurat dalam sistem pendidikan kita. Masyarakat Indonesia masih mengganggap pendidikan sebatas sarana, bukan sebagai tujuan untuk pembentukan pribadi yang unggul dan berkarakter.
Masyarakat juga masih mengganggap pendidikan sebagai “batu loncatan” demi mendongkrak status stratifikasi sosial melalui gelar-gelar akademik semata, status sosial seseorang dijamin melonjak terangkat tinggi. (Mochtar Buchori; 1994). Apabila pendidikan hanya dianggap sebatas sarana, tentu kemungkinan hanya terjebak pada budaya formalitas dan ‘instanitas’ belaka yang semakin besar dengan embel-embel akademik yang dianggap mempuni, menguasai ilmu atau memiliki kecakapan hidup (live skill). Perguruan tinggi yang “lemah sahwat” akan tujuan pendidikan nasional seperti yang diamanatkan untuk mendukung perwujudan kecerdasan bangsa dan cita-cita pembangunan karakter bangsa, sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan UUD 1945, pada pasal 1 (1) UU No. 20/2003 tentang definisi pendidikan yang sesungguhnya, akan hanya menjadi gerbong kepentingan perguruan tinggi semata yang tidak perpihak pada pembentukan karakter dan kecerdasan kehidupan bangsa. Ironisnya, hanya dijadikan ajang peng-gemukan kepentingan industrialisasi, kapitalisasi dan liberalisasi pendidikan. Konsekuensi logis dari sikap perguruan tinggi yang tidak memperhatikan dinamika mahasiswanya akan berdampak kesenjangan sosial dan moral dikalangan mahasiswa itu sendiri, misalnya kurangnya ‘pendekatan’, pemberdayaan nilai-nilai intelektual dan moral dari elit perguruan tinggi, sehingga mahasiswa masih terjebak dalam pusaran romantis-hedonis, pargamatis yang pasti berpusat pada hura-hura, dan sifat kosumtif. Memenuhi kepuasaan pribadi, belum sadar akan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) MAHA-siswa, dan fakta ini sudah membudaya. Seperti Shopping, clubbing, narkoba, free sex yang mewarnai kehidupannya. Merekalah mahasiswa liar yang kurang perhatian dan pemberdayaan dari pihak kampus. Esensinya, mahasiswa memiliki tiga fungsi strategis, yakni 1) Penyampai kebenaran (agent of social control), 2) Agen perubahan (agent of change), dan 3) Generasi penerus masa depan (iron stock). Penyampai kebenaran sebagaimana kita saksikan di sekitar kita bahwa mahasiswa merupakan elemen yang paling peka merespon problematika bangsa sebagai promotor ‘people power’ yang menyangkut kepentingan masyarakat umum. Begitu banyak kegiatan yang dijalankan, mulai dari diskusi, seminar sampai pada demonstrasi damai yang kritis-analisi untuk memperjuangkan kebenaran dan menjunjung tinggi kesejahteraan.
Mahasiswa sebagai agen perubahan dimaksudkan bahwa dalam mengadakan sebuah perubahan yang holistik dan sistematik demi kemaslahatan bersama, maka mahasiswa dituntut memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk itu. Pendidikan yang hanya berbasis pada pengembangan intelektual tanpa pengembangan nilai-nilai spiritual dan keseimbangan emosional, merupakan metode pendidikan yang perlu dikoreksi. Sebab, intelegensia tinggi tanpa diimbangi dengan nilai-nilai spiritual dan keseimbangan emosional, tidak akan menghasilkan kecerdasan sosial yang diharapkan. Banyak orang terlalu mendambakan materi, menjadikan mereka egois, sehingga tidak lagi peduli pada komitmen dan seringkali kehilangan makna atas apa yang mereka kerjakan, dan bahkan kehilangan rasa solidaritas untuk hidup bermasyarakat. Pada intinya perdidikan karakter bertujuan membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan Pancasila yang seharusnya menjadi ruh perguruan tinggi untuk melahirkan mahasiswa yang berpribadi yang unggul, berwawasan global dan hati yang jernih berkarakter mulia. Sedangkan fungsi pendidikan karakter adalah (1) mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berprilaku baik; (2) memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur; (3) meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia. Dr. Martin Luther King juga pernah berkata: “Intelligence plus character….that is the goal of true education” (Kecerdasan plus karakter….itu adalah tujuan akhir dari pendidikan yang sebenarnya). Wallahu’a’lam Bissawab, semoga bermanfaat..!
0 Comments:
Posting Komentar