Motivasi dan Etos Kerja Nabi SAW.

 

Motivasi dan Etos Kerja Nabi SAW.

 

“Kerjakan apa yang didoakan, dan doakan apa yang dikerjakan”

(wahidenesia)

 

Bekerja, dalam perspektif Islam adalah bagian dari ibadah (ghairu mahdhoh), dan tentu saja berpahala. Sedangkan secara sosiologis, berekrja adalah suatu kehormatan dan memiliki stratifikasi sosial. Maka bersyukurlah bagi yang sudah memiliki pekerjaan/usaha. Namun, mengapa era kini masih banyak orang (muda maupun tua) yang menikmati kemalasan?, missal bermain-main tanpa batas waktu, bahkan, ada yang tanpa rasa malu selalu menengadahkan tangannya seraya berdoa untuk meminta diberikan rezeki berserta kelancarannya pada dirinya tanpa usaha yang memadai. Padahal Allah subhanahu waata’alaa telah berfirman: “Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan” (QS. at-Taubah [9]: 105).

Bekerja bukanlah sekadar merujuk kepada pengertian mencari harta, untuk menghidupi diri dan keluarga dengan menghabiskan waktu, secara terus-menerus tak kenal lelah, tetapi bekerja adalah mencangkup segala bentuk tindakan yang mempunyai unsur kebaikan dan keberkahan bagi diri, keluarga, dan siapa pun yang harus diuntungkan olehnya. Dengan kata lain, seseorang yang dianggap ‘telah’ bekerja adalah mereka yang telah berbuat sesuatu untuk menyumbangkan apa pun yang bisa dia lakukan bagi kebaikan siapa pun, tanpa menzalimi siapa pun. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda : “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni. Hadits ini dihasankan oleh al-Albani di dalam Shahihul Jami' no: 3289)

Oleh karena itu, Allah menyatakan dalam firman-Nya, bahwa Dia menggariskan golongan yang beruntung (al-muflihun, jama’ dari [mufrad]: al-muflih) itu adalah: “orang yang beriman kepada-Nya, khusyu’ dalam shalatnya, bisa memanfaatkan peluang, peduli terhadap siapa pun yang membutuhkan uluran tangannya, mengendalikan hasrat seksualnya, memiliki komitmen kuat terhadap janji dan tanggung jawabnya, dan yang terakhir: “mampu mengimplementasikan nilai-nilai (luhur) shalatnya dalam seluruh perilakunya” (QS. al-Mu’minun [23]: 1-11).

Dalam kisah lain disebutkan bahwa ada seseorang yang berjalan melalui persinggahan Rasullullah saw. Orang tersebut sedang bekerja dengan sangat giat dan tangkas. Para sahabat –yang ada di sekitar persinggahan– Rasulullah saw. pun [kemudian] bertanya: “Wahai Rasullullah, andaikata bekerja semacam orang itu dapat digolongkan jihad fî sabîllillah, maka alangkah baiknya”. Mendengar itu Rasulullah saw pun menjawab: “Kalau ia bekerja untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil, itu adalah (jihad) fî sabîllillah; kalau ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak meminta-minta, itu juga (jihad) fî sabillillâh.” (HR al-Baihaqi dari Anas bin Malik, As-Sunan al-Kubra, VII/479).

Di samping itu, Rasulullah SAW. telah memberikan teladan kepada umat, dengan bangunan karakternya yang dikatakan oleh para ulama bisa menjadi modal utama dalam bekerja: (a) ash-Shidiq, jujur pada diri sendiri dan orang lain; (b) al-Amanah, sanggup mengemban kepercayaan dan menjalankan kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya tanpa keserakahan; (c) al-Fathanah, cerdas dalam melihat potensi diri serta menangkap peluang yang ada, tanpa meremehkan peluang sekecil apa pun; (d) at-Tablîgh, sanggup membangun komunikasi efektif dengan siapa pun, dan memanfaatkannya untuk mengembangkan seluruh potensi dirinya untuk kemashlahatan orang lain dan begitu juga sebaliknya, mampu memanfaatkan potensi orang lain untuk kemaslahatan dirinya tanpa saling merugikan.

Rasulullah shallahu ‘alaihi waasallam telah memberi contoh (role model), bagaimana cara membangun motivasi etos kerja sesuai nilai-nilai ke-Islaman bagi umatnya, dibuktikan sejak belia beliau berwirausaha dengan etos kerja (berjalan kaki untuk berdagang) dengan penuh tanggung jawab dengan keanggunan perkataan, sikap, dan perilakunya. Maka, saatnya kita mencontoh (ber-ittiba’) etos kerja Nabi Muhammad SAW yang telah terbangun pada diri dan para sahabat beliau, kaderisasi sahabat tercetak sejak dini para pemuda yang mampu berkerja dan menjadi pemimpin dan panglima perang dengan memahami konsep yang telah mereka tawarkan dalam konteks ruang, waktu, beserta tantangan yang berbeda. 

Fastabiqu al-Khairat, wa Ibda’ bi Nafsik!

 


0 Comments:

Posting Komentar